Mobil listrik sekarang ini sedang menjadi topik hangat. Tidak hanya di
Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Malah sebuah perusahaan di Jepang
telah berhasil membuat sebuah mobil listrik yang bisa dirakit dan
bongkar-pasang oleh sang pemiliknya. Bangsa Indonesia sudah sepatutnya
berbangga, karena anak negeri pun telah berhasil membuat mobil listrik,
dan baru kemarin diuji coba oleh menteri BUMN Dahlan Iskan secara
langsung.
Dan rencananya, mobil listrik ini akan dijadikan sebagai mobil
nasional. Tetapi, benarkah mobil listrik akan menjadi mobil masa depan?
Ada keunikan tersendiri ketika mengendarai mobil listrik. Dengan
mobil listrik Anda tidak akan mendengarkan suara raungan mesin. Mobil
listrik tersebut dapat berjalan melesat bagaikan mobil sport tanpa
gangguan suara kopling dan pemindahan gigi saat mengubah kecepatan.
Saat ini sudah tersedia atau bahkan produk-produk mobil listrik yang
akan diluncurkan seperti Mitsubishi i-MiEV, Nissan Leaf, Opel Ampera,
Renault Fluence dan VW E-Up. Dengan hadirnya beragam mobil listrik ini
menandakan perakitan dan pengoperasian sudah bukan kendala lagi.
Harga jual dan kinerja baterai bisa menambah kepopuleran mobil
listrik. Dahulu, mobil listrik hanya dijadikan mobil kedua karena jarak
tempuhnya yang pendek. Namun kini, beberapa negara, terutama di Eropa,
optimistis bahwa pada tahun 2020, lebih dari sejuta mobil listrik akan
berlalu lalang di jalanan. Oleh karena itu, para produsen semakin keras
bekerja untuk menghasilkan baterai yang lebih andal dan murah.
Baterai Li-ion menjadi pilihan terbaik karena tidak mengenal efek
memori dan dapat didaur ulang dengan mudah. Dengan begitu, baterai dapat
menempuh jarak 120 hingga 160 km, tergantung ukuran mobil. Namun,
kelemahan utama dari sel Li-ion adalah harganya yang tinggi. Harga satu
baterai Li-ion untuk mobil kecil bisa mencapai $19.000. Tetapi dengan
meningkatnya produksi, harga tersebut diharapkan bisa turun.
Baterai ringan dan tahan lama
Meski baterai lithium memberikan kapasitas yang kecil per kilogram,
proses pengisian baterainya membutuhkan waktu yang lama dan sangat
sensitif terhadap kelembapan udara. Oleh karena itu, para produsen mobil
dan baterai sudah melirik teknologi baterai generasi berikutnya. Salah
satu pilihan adalah lithiumpolymer cells yang dapat menampung energi
yang sama, tetapi dengan berat setengah dari baterai lithium. DBM Energy
telah mengembangkan sebuah baterai lithium-metal-polymer (LMP) yang
hanya memerlukan sepersepuluh bagian lithium.
Baterai yang lebih ringan lagi adalah baterai lithium sulfur yang
diharapkan para ilmuwan dapat diwujudkan pada tahun 2020. Baterai ini
memiliki jarak tempuh hingga 300 km. Terobosan yang paling bisa
diharapkan para pakar adalah baterai lithium udara yang bisa diwujudkan
setidaknya 12 tahun dari sekarang. Pada baterai ini, katoda mengambil
udara dari lingkungan sekitar. Sementara, untuk anoda digunakan lithium
metal. Cara ini membuat baterai jadi lebih ringan dan kecil.
Kekurangannya adalah kelembapan di udara dapat menimbulkan reaksi
ledakan. Oleh sebab itu, lithium oksigen membutuhkan sebuah membran
pelindung yang dapat melindunginya dari air, tetapi dapat membiarkan
udara masuk. Jika cara ini berhasil, tingkat energi baterainya akan 10
kali lebih besar dibandingkan semua baterai yang ada sekarang dan jarak
tempuh bisa mencapai 500 km.
Meskipun baterai mobil listrik nantinya bisa dibuat agar dapat
menampung energi besar, para pengendara mobil masih saja menyimpan rasa
takut. Bagaimana jika mobil mereka kehabisan baterai di jalan yang sepi
tanpa ada aliran listrik? Chevrolet, Opel, dan produsen mobil Amerika,
Fisker, sedang merancang sebuah Range Extender (RE). RE adalah sebuah
motor pembakaran kecil yang dapat berjalan meski baterai dalam kondisi
lemah. RE akan menyalakan sebuah generator yang dapat memberikan listrik
untuk motor listrik mobil dan mengisi kembali baterai. Dengan cara ini,
mobil masih bisa digunakan hingga beberapa ratus kilometer.
Pesaing : Fuel cell
Solusi lain bagi masalah baterai mobil listrik adalah fuel cell (sel
bahan bakar). Sel bahan bakar jika direaksikan dengan oksigen dan
hidrogen dapat menghasilkan listrik. Sel bahan bakar pada kendaraan pada
dasarnya adalah sebuah e-mobil yang memiliki sebuah pembangkit tenaga
listrik kecil. Gas hidrogen disimpan dalam tangki bertekanan 700 bar.
Cara ini membuat mobil listrik mampu menempuh jarak hingga lebih dari
400 km. Knalpot mobil ini hanya akan mengeluarkan uap air. Dengan
demikian, mobil dengan sel bahan bakar adalah kendaraan tanpa emisi.
Kini, ukuran sel bahan bakar tidak lebih dari ukuran sebuah koper
tangan. Perusahaan terdepan dalam penelitian dan pengembangan sel bahan
bakar di dunia adalah Daimier. Dalam Fuel Cell Technology, ikut pula
perusahaan seperti General Motors, Volkswagen, Toyota, Honda, dan
Hyndai.
Proses pengisian bahan bakarnya hanya memakan waktu beberapa menit,
tidak lebih lama dibandingkan pengisian bensin. Dibandingkan mobil
listrik yang menggunakan tenaga baterai murni, yang membutuhkan waktu
6-8 jam untuk mengisi baterai hingga penuh, waktu itu terbilang cepat.
Dengan tegangan listrik 400 volt, baterai dapat terisi hingga 80 persen
dalam tiga puluh menit. Akan tetapi, metode ini akan menyebabkan daya
tahan baterai menurun lebih cepat karena sel baterai tidak sesuai untuk
pengisian cepat semacam itu. Renault-Nissan mencoba mengatasi masalah
pengisian baterai itu dengan stasiun penukaran baterai. Mobil listrik
naik ke atas platform dan dalam hitungan menit sebuah robot akan menukar
baterai kosong dengan yang penuh. Secara teori, dengan cara ini, sebuah
mobil listrik dapat digunakan untuk mengelilingi seluruh Perancis
asalkan tersedia jaringan tempat pengisian baterai yang tersebar
merata. Sebuah impian yang kedengarannya mudah, tetapi sebenarnya sulit.
Diperlukan logistik dan investasi yang amat besar untuk mewujudkannya.
Selain itu, diperlukan juga standarisasi modul baterai. Sayangnya,
setiap produsen mobil ingin memiliki standar baterai mereka sendiri
karena mereka ingin menawarkan solusi terbaik bagi masalah baterai ini.
Sumber: CHIP
0 komentar:
Posting Komentar